Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. "Berapa dibilang sinamotnya? Bah, padahal boruku (anak perempuan) tamat sarjana-nya, kerja lagi. Dari kecil, susunya pun yang mahal itunya diminumnya. Masak segitu pulak mau dikasih. Enggak usah pun jadi!" Demikian salah satu anekdot percakapan sebagian orang Batak, saat proses pinangan oleh keluarga si laki-laki.
Sinamot atau tuhor boru atau dalam bahasa Indonesia boleh dibilang mahar, bagi muda-mudi Batak yang tengah berpacaran, adalah satu hal yang paling ditakuti, ketika mereka akan melangkah ke pelaminan. Apalagi sekarang ini, ada kecenderungan harga sinamot semakin tinggi. Tak heran, banyak pasangan muda-mudi Batak gagal menikah karena sinamot. Parahnya lagi, sudah gagal, menimbulkan luka pula bagi kedua belah pihak.
"Hal itu terjadi karena sinamot diartikan sebagai tuhor," kata Ketua Umum Yayasan Pelestari Kebudayaan Batak (YPKB), Prof Albiner Siagian, kepada medanbisnisdaily.com, Rabu malam (10/7/2019).
"Memang ada pergeseran maknanya. Sinamot dimaknai sebagai boli (tuhor). Akibatnya ada proses jual-beli di situ. Konsekuensi logisnya adalah untung-rugi. Pergeseran mereduksi makna sinamot itu," sambung Albiner lagi.
Darwin Sinurat salah satu parhata (tokoh adat) marga Sinurat di Medan menambahkan, sinamot seyogianya merupakan kesepakatan yang tak perlu dipaksakan. Apalagi sampai memberatkan salah satu pihak, yang pada akhirnya berdampak pada kehidupan pasangan yang akan menikah kelak.
"Ngapain sinamot tinggi-tinggi kalau uangnya ngutang. Ujung-ujungnya memberatkan pengantin. Kalau sempat gara-gara sinamot terutang bertahun-tahun, apa enggak kelabakan," katanya.