Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Rada pedas tapi lezat. Begitu opini umum tentang nasi Padang. Tak hanya orang Minang yang suka, juga warga nonminang. “Menjual” etnik atau daerah ternyata tidak serawan seperti orang yang mendikotomikan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan).
Buktinya, warung Tegal digemari karena enak dan murah. Termasuk ayam penyet surabaya, gudeg Yogyakarta, mie Aceh, soto Betawi, pempek palembang, hingga salak Padangsidimpuan.
Anda dapat membeberkan sendiri kuliner yang beraroma etnik atau daerah, bahkan antarbangsa. Misalnya, martabak Kairo, nasi Briyani Ayam India, capcay Cina, duren Monthong Thailand. Juga Bika Ambon, kopi Mandailing, Lintong Nihuta, Sidikalang, Sipirok hingga kopi Gayo. Ikan patin Jambi, nainiura dan ikan arsik dari Batak Toba hingga lalap Sunda.
Meskipun berunsur “SARA” namun diamengandungsesuatu yang universal, yakni citarasa. Lidah tak mengenal etnik dan daerah. Lidah mengecap sesuatu, dan karena enak, ya,santap saja. Lidah itu tak ada suku dan agamanya. Yang punya suku dan agama adalah orang.Keyakinan agama harus dihormati, termasuk soal makanan halal dan tidak halal.
Tak ayal, makan adalah rutinitaskehidupan manusia. Menambah enerji, kebutuhan biologis, dan terhindar dari rasa lapar, yang bisa membuat sakit, bahkan rasa amarah. Itu sebabnya ada hadis Nabi, makanlah sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang.
Malah ada konvensi bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman ketika sedang lapar. Tapi hidup bukan untuk makan, tapi sebaliknya, makan untuk hidup.
Eh, kuliner etnik, daerah dan antarbangsa juga menjadi tambang uang. Betapa banyak orang yang kaya dari bisnis kuliner seraya menampung tenaga kerja dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Bisa membayar pajak, yang menghimpun dana pembangunan demi kesejahteraan masyarakat. Jadilah, kuliner berfungsi eknomi, sosial dan rasa kebangsaan.
Pendek kata, kuliner itu mempunyai ciri universal, di mana orang bisa duduk satu meja, walau berbeda etnik, ras dan daerah. Percayalah, nenek bilang bahwa kuliner etnik, daerah dan antarbangsa itu tidak akan mendatangkan kerusuhan.
Tapi, bagaimana tentang kamus nofree lunch? Ha-ha, sory, itu sudah wilayah politik yang ngeri-ngeri sedap dan menjebak!