Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - KUHP yang dibawa penjajah Belanda masih berlaku hingga saat ini. KUHP, yang mempunyai nama asli Wet Wetboek van Strafrecht, menggusur semua hukum yang ada di Nusantara, dari hukum adat hingga hukum pidana agama. Nilai-nilai keindonesiaan tergerus hukum penjajah.
"Perlu dibangun semangat untuk berbangga pada nilai sosial budaya sendiri, termasuk kepada sistem hukum nasional Indonesia," kata satu-satunya guru besar hukum adat di Indonesia, Prof Dr Dominikus Rato SH MSi, dalam seminar di Jember pada 2016.
Menurut Prof Dom--demikian ia biasa disapa--nilai-nilai itu muncul berdasarkan pengalaman bangsa yang telah berlangsung selama puluhan tahun, ratusan tahun, bahkan ribuan tahun, dan tidak lekang oleh waktu. Tidak karat oleh zaman.
"Hendaklah kita mampu memilih dan memilah nilai-nilai asing untuk memperkaya nilai sosial budaya sendiri dalam rangka pembentukan sistem hukum nasional," cetus guru besar Universitas Jember itu.
"Perlu dibangun semangat untuk berbangga pada nilai sosial budaya sendiri, termasuk kepada sistem hukum nasional Indonesia," sambung Prof Dom.
Prof Dom mencontohkan pengalaman Jepang yang membangun sistem hukumnya berdasarkan semangat budaya setempat, yaitu Hito-Kane-Mono atau korporasi, pelanggan, dan pesaing. Falsafah itu bersumber dari falsafah Hone sebagai great culture (budaya adiluhung) dan tate mae sebagai small culture.
74 Tahun Indonesia Merdeka, Hukum Adat Hilang Ditelan Hukum BelandaDominikus Rato (Andi/detikcom)
"Filosofi Hito-Kane-Mono menjadi roh manajemen dibentuk, bekerja, dan mendukung ekonomi Jepang, sedangkan falsafah tate mae dan hone telah membentuk moraliltas dan mentalitas Jepang dalam pembentukan, pelaksanaan, penegakan, dan pembaharuan hukum. Inti dari hone dan tate mae adalah rasa malu atau budaya malu dan bangga dengan Jepang," cetus Prof Dom.
Di Indonesia, hukum adat tumbuh dan tertanam di tiap entitas budaya sehingga muncul peribahasa 'lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya'.
Seperti kasus asusila di desa Paruna, Unaaha, Kendari, pada 15 Juni 1987. Akibat perbuatan tersebut, pemuda itu diadili secara adat oleh ketua adat yang dikenal dengan istilah 'Prohala'. Hukuman tersebut mengharuskan pelaku membayar seekor kerbau dan satu potong kain kaci. Hukuman ini diterima pelaku dan dilaksanakan. Putusan itu dikuatkan oleh Mahkamah Agung (MA) dan menjadi yurisprudensi.
Semangat keindonesiaan itu dimuat dalam RUU KUHP yang akan membangkitkan lagi hukum adat. Namun perwakilan Uni Eropa (Inggris, Jerman, Prancis, dan Belanda) mempertanyakan hal tersebut.
"Bagaimana jika wisatawan dari Eropa yang datang ke Indonesia, kemudian dijatuhkan sanksi hukum ada di daerah tersebut? Apakah ada perlindungan dari negara, karena secara KUHP warga kami tidak bersalah," kata delegasi Uni Eropa (UE) yang dipimpin oleh Charles-Michel Geurts. dtc