Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Jalan tol dan nontol di negeri ini adalah made in Indonesia. Tapi merek mobil yang meluncur di atasnya adalah buatan Jepang. Maklum, penguasaan pasar penjualan mobil di Indonesia didominasi made in Jepang. Tahun lalu saja, menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), mencapai 98%.
Tak heran jika ada buku berjudul “Japan As Number One” karya E Vogel, yang menuturkan betapa Jepang, baik negara dan pengusahanya tampil bagai sebuah perusahaan besar sehingga muncullah istilah Japan Incorporation yang tersohor itu.
Saya jelajahi di internet, ternyata patriotisme atau nasionalisme pengusaha Jepang sangat tinggi. Boleh saja Toyota dan Mitsubishi saling bersaing, namun dalam menghadapi bisnis internasional mereka bersatu. Daya saing mereka pun menjadi tangguh.
Sayidiman Suryohadiprojo, mantan dubes RI di Jepang (1979) pernah bertanya kepada seorang eksekutif Mitsubishi, mengapa dunia bisnis Jepang seiring sejalan dengan kebijakan pemerintah.
“Para pengusaha yakin bahwa para tokoh di pemeritahan adalah orang-orang yang cerdas dan patriot-nasionalis, dan memperjuangkan yang terbaik bagi perekonomian Jepang,” tulis Sayidiman, di sebuah media.
Di Indonesia, memang ada sejumlah menteri yang cerdas dan nasionalis, tapi rasanya belum dominan hingga pengaruhnya tidak terlalu signifikan. Bahkan ada menteri yang pantang kebutuhan dalam negeri tidak bisa dipasok, spontan menempuh langkah impor.
Bataliyon Tentara
Tak heran jika defisit neraca perdagangan mencapai US$ 8,7 miliar pada 2018. Neraca trasaksi berjalan atau CAD (current account deficit) malah sebesar US$ 31,05 miliar. Akibatnya, cukup banyak uang yang terbang dari negeri ini daripada yang masuk. Rupiah pun melemah.
Saya kira alangkah tepat jika Presiden Jokowi memilih menteri yang cerdas dan patriotis untuk menduduki posisi di kabinet jilid dua.
Jumlah penduduk kita saja yang mencapai 260 juta jiwa, seyogianya merupakan pasar yang empuk bagi produksi nasional.
Nah, jika ada gerakan ramai-ramai membeli produk dalam negeri, maka industri domestik akan bangkit. Uangnya akan bertahan di dalam negeri. Pasar bergairah dan pertumbuhan menggeliat.
Sebaliknya, jika Anda berbelanja barang impor, duitnya terbang ke luar negeri. Produsen di luar negeri pun tersenyum simpul, karena ia telah meraup untung.
Jika kolonialisme di masa lalu berlangsung dengan pengerahan bataliyon tentara, kini justru melalui pasukan ekonomi. Lalu, membanjiri Indonesia dengan barang impor dan arus modal.
Tak ayal, nasionalisme di bidang ekonomi mutlak digalakkan. Jika Anda tetap sudi “disihir” oleh barang impor, maaf, sesungguhnya Anda telah “dijajah” secara ekonomi. Secara individu Anda beruntung. Tapi perekonomian bangsa ini buntung.