Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Papua itu paradoks dan tragis. Meskipun alamnya kaya raya – karena memproduksi emas dan tembaga – namun angka kemskinan masih menjulang. Padahal, pada periode Januari hingga September 2018 saja, Freeport telah menjual 1 miliar pound (454,95 ribu ton) tembaga, dan 2,1 juta ounces (59,68 ton) emas dari tambang Grasberg di Papua.
Nah, inilah yang pada 27 September 2018, telah didivestasi oleh PT Inalum sebesar 51%. Bayangkan, berapa kelak yang diraih oleh PT Inalum dari tambang di bumi Papua tersebut.
Dengan harga rata-rata tembaga sebesar US$ 2,93/pound, maka Freeport mengantongi US$ 2,94 miliar dari penjualan tembaga periode Januari-September 2018.
Harga emas rata-rata sebesar US$ 1.248/ounce, perusahaan ini mendulang US$ 2,63 miliar dari penjualan emas di 9 bulan tahun lalu. Apabila dijumlahkan, pendapatan tambang Papua mencapai US$ 5,57 miliar (Rp 84,5 triliun).
Tapi, Bung, membaca data Badan Pusat Statistik (BPS), kita terenyuh. Angka kemiskinannya tertinggi di Indonesia pada Maret 2019 dengan 27,53%. Padahal angka kemiskinan nasional hanya 9,47%.
Bahkan jika menurut data BPS pada Maret 2018, ketika angka kemiskinan sebesar 27,74%, dari 17 kabupaten/kota, ada tiga kabupaten, yakni Deiya, Intan Jaya, dan Lanny Jaya tingkat kemiskinannya di atas 40% dari populasi.
Jumlah penduduk miskin masih lumayan. Jika pada Maret 2018 masih 918.000 jiwa meningkat menjadi 926.000 jiwa pada Maret 2019.
Dari 34 provinsi, terdapat 16 provinsi yang memiliki angka kemiskinan di atas angka nasional. Lima provinsi berada di kawasan timur Indonesia. Yakni, Papua (27,53%), Papua Barat (22,17%), Nusa Tenggara Timur (21,09%), Maluku (17,69%), dan Gorontalo (15,52%).
Jika dibandingkan dengan angka kemiskinan di Pulau Jawa sangat jomblang. DI Yogyakarta, hanya 11,7%. Jawa Tengah 10,8%. Sedangkan Jawa Timur 10,37%. Sementara DKI Jakarta hanya 3,47% dan Bali sebesar 3,79%.
Pemerintahan Jokowi Serius
Saya tidak tahu apakah angka kemiskinan Papua itu berkorelasi dengan kemarahan warga Papua ketika mendengar saat saudaranya diteriaki kata-kata rasis di Surabaya, Jawa Timur beberapa waktu lalu. Tapi, saya kira, inilah salah satu akar masalah di Papua yang harus ditanggulangi pemerintah.
Jika kita berkunjung ke destinasi wisata Raja Ampat sungguh sangat mempesona. Ada resor mewah sebagai tempat wisatawan lokal maupun mancanegara menikmati keindahan Raja Ampat. Tak heran jika para wisatawan tak mempersoalkan biaya yang dikeluarkan demi ke tempat ini.
Tapi, Bung, betapa penduduk asli di sekitarnya masih terkurung dalam keterbelakangan. Pendidikan tak memadai, fasilitas umum minim, bahkan kesulitan sekedar untuk makan sehari-hari.
Saya riset dari berbagai sumber, di Pulau Manyaifun, yang berjarak hanya 4 jam perjalanan memakai speed boat dari pusat ibukota Raja Ampat, Distrik Waisai di Pulau Wairego, kehidupan warganya amat prihatin. Bahkan penyakit kekurangan gizi masih menghantui.
Tidak terdapat fasilitas air bersih yang memadai. Stok air dikirim dari Waisai dua kali sebulan. Anak-anak mereka harus puas dengan makan nasi kosong (tanpa lauk pauk).
Akses pendidikan pun hanya ada hingga tingkat sekolah dasar. Untuk meneruskan ke jenjang SMP, ongkos perjalanannya ratusan ribu sekali jalan.
Minimnya pelayanan kesehatan membuat tidak semua warga bisa mengaksesnya dengan mudah. Ke mana gerangan larinya keuntungan dari wisata yang terkenal hingga dunia internasional itu hingga warga sekitarnya seakan terlantar?
Kita berterima kasih karena Pemerintahan Jokowi serius terhadap Papua. Trans Papua dibangun. BBM satu harga di Papua dan Jakarta sudah ditunaikan. Tentu saja, itu belum cukup. Kerja belum selesai. Belum apa-apa.