Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Syahdan, pada 1920 debut wisatawan Eropa datang ke Bali. Kala itu, kapal-kapal dagang Belanda Koninklijke Paketcart Maatsckapy mencari rempah-rempah. Namun sepulang dari Bali, mereka memperkenalkan Bali di Eropa. Bahkan, melaporkannya kepada Raja Belanda bahwa Bali sangat mempesona.
Gelombang turis Eropa kemudian diikuti oleh para sastrawan dan pelukis. Pulang ke Eropa mereka menulis tentang pesona Bali di berbagai suratkabar. Tercatatlah, Dr Gregor Krause, seorang Jerman yang mendatangi Bali pada 1921, dan membuat tulisan dan foto mengenai kehidupan masyarakat Bali. Bukunya lalu menyebar ke seluruh dunia.
Masih ada Miguel Covarrubias dengan bukunya "The Island of Bali" pada 1930. Lalu, disusul oleh Mrs Menc alias Ni Ketut Tantri dengan bukunya yang kondang, Revolt In Paradise.
Belakangan datang pula pelukis R Bonet yang mendirikan museum Ratna Warta. Lalu, Walter Spies bersama Tjokorde mendirikan Yayasan Pita Maha. Masih ada Arie Smith yang membentuk aliran young artist. Lalu, Le Mayeur orang Belgia mengambil isteri di Bali tinggal di Sanur pada 1930 . Juga Mario Blanco warga Spanyol, seorang pelukis beristerikan orang Bali dan menetap di Ubud.
Tulisan dan karya mereka menyebar ke seluruh dunia sehingga turis pun datang berduyun-duyun. Jika pada 1975 masih 75.790 orang, dan tembus 6.127.437 orang pada 2018. Naik 10,61% dari 2017 turis asing mengunjungi Bali yang hanya 5.539.791 orang.
Peran Seniman Bali
Seniman Bali tak hanya jadi penonton. Dalam buku Wayan Beratha: Seniman Bali, Kelas Dunia ternyata sudah sejak zaman kolonial, tim kesenian Bali berbulan-bulan pentas di luar negeri seperti di Paris pada 1931. Sesudah kemerdekaan, seniman Bali sering mengadakan lawatan ke luar negeri, seperti Inggris, Amerika, dan Tiongkok.
Bahkan, dalam rentang waktu 1956-1999, tim kesenian Wayan sudah 100 kali mengunjungi lebih dari 35 negara. Termasuk pentas di Amerika selama 6 bulan mengisi acara di New York World's Fairs.
Seniman Bali juga berkreatif menyajikan seni pertunjukan yang memukau. Tengoklah, barong dan kecak yang “menyihir” para pelancong sejak 1930-an. Padahal seni pentas barong berakar dari drama tari Calonarang lazim disebut Barong and Kris Dance, dan kecak atau cak yang dipenggal dari tari sakral sanghyang, yang disebut juga Monkey Dance.
Betapa Monkey Dance amat memukau dengan jalinan suara cak cak cak yang berlapis-lapis dengan gerak-gerak alami para pemain “gamelan mulut” dan sangat mempesona. Namun berkat dorongan Walter Spies, seorang seniman Jerman, para pelaku seni di Bali telah menggarapnya menjadi seni pertunjukan yang lepas dari unsur-unsur magisme.
Misi Kesenian
Saya kira ritus Mangalahat Horbo, Sipaha Sada, Sipaha Lima dan Gondang Mandudu dalam ritus Parmalim di tanah Batak mestinya dapat mengilhami munculnya seni turistik. Namun harus dikemas secara estetik. Pertunjukannya pun tidak lagi berhari-hari, tapi cukup satu jam saja.
Saya ingat sajak-sajak Sitor Situmorang tentang Danau Toba juga ditejemakan ke dalam bahasa Belanda. Pusat Latihan Opera Batak juga pernah pentas di Jerman.
Masih ada penyanyi Gordon Tobing (1925-1993) yang melanglang buana ke Meksiko, Argentina, Brazil, Amerika Serikat, Uni Sovyet, dan Cina. Dia kondang dengan lagu A Sing Sing So.
Gordon pernah pentas di Moskow kemudian ke Cina pada 1961, mendahului kunjungan Presiden Soekarno. Saat mendarat di bandara, Bung Karno terkesima mendengar lantunan beberapa lagu Batak.
Bung Karno heran, bertanya pada ajudannya,”Siapa yang menyanyikan lagu Batak di sini?” Setelah ajudan mengecek, dan melapor ke presiden, spontan presiden berkomentar,“Luar biasa itu, dengan lagu Batak bisa sampai di sin”. Dialah Gordon Tobing.
Bahkan, pada 1991 silam, gondang Batak pernah diboyong oleh etnomusikolog Rizaldi Siagian ke pameran KIAS (Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat).
Memang, Rizaldi ketika menjadi Ketua Jurusan Etnomusikologi di USU Medan kerap membawa misi kesenian Sumatra Utara ke luar negeri. Misalnya, tradisi vokal Nias, yakni Megalithic Vocal Ensemble, pada Festival Kondalota (1992)) di Jepang.
Lalu, konser musik Toba, Simalungun dan Karo pada Festival Indonesia di Paris, Jenewa, Basel, Bonn, Berlin, Muenchen dan Amsterdam pada 1993. Musik Batak juga tampil di Festival Australia di Adelaide pada 1994.
Oh, musik Batak pun bergema di luar negeri. Orang asing jadi penasaran Sumut itu kayak apa sih? Tak heran jika kunjungan turis yang pada 1990, cuma 149.450 orang, menjadi 301.287 orang pada 1995. Sayang, kini hanya sekitar 200.000 orang, seiring meredupnya kesenian Batak di luar negeri.
Hayo, seniman Sumatra Utara, peluang ada di depanmu. Raihlah kreatifitas untuk menyongsong destinasi Danau Toba sebagai salah satu super prioritas pariwisata di negeri ini.