Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. UUD 1945 memberikan sarana bagi masyarakat untuk menggugat UU ke Mahkamah Konstitusi (MK) apabila tidak puas. Namun khusus UU KPK baru, masyarakat ragu akan kredibilitas MK dalam mengadili materi terkait pemberantasan korupsi.
Masyarakat lebih memilih menuntut Presiden untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) membatalkan revisi UU KPK.
"Fenomena ini bukan berarti masyarakat tidak percaya lagi kepada Mahkamah Konstitusi, namun lebih pada pesimisme masyarakat atas rekam jejak MK dalam 4 tahun terakhir yang dalam memutus perkara-perkara pengujian UU yang terkait pemberantasan korupsi dianggap tidak sejalan dengan keinginan mayoritas publik untuk memperkuat pemberantasan korupsi," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono saat berbincang, Kamis (26/9/2019).
Di satu sisi, MK dalam memutus perkara pengujian UU utamanya terkait hak sipil dan politik, ekonomi dan sosial budaya harus diakui positif. Namun khusus untuk pemberantasan korupsi banyak putusan MK yang dianggap masyarakat sipil belum sesuai kehendak publik untuk memperkuat agenda pemberantasan korupsi.
"Apalagi jika pengujian UU tersebut terkait dengan kepentingan DPR seperti halnya kasus angket DPR terhadap KPK beberapa waktu lalu. Hal ini berbeda dengan MK di generasi I dan II yang pada waktu itu dinilai publik sangat mendukung agenda pemberantasan korupsi," ujar Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.
Berikut ini beberapa putusan MK dalam 4 tahun terakhir terkait pengujian UU yang dianggap belum sejalan dengan keinginan publik untuk memperkuat agenda pemberantasan korupsi.
1. Putusan Nomor 42/PUU-XII/2015
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pengujian Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Akibat putusan ini maka mantan narapidana korupsi dapat mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Putusan MK ini bertolak belakang dengan putusan sebelumnya yaitu Perkara Nomor 14-17/PUU-V/2007 dan Perkara Nomor 4/PUU-VII/2009.
"Dalam putusan terdahulu MK memperkuat adanya semacam pembatasan seseorang untuk menduduki jabatan melalui proses pemilihan dengan harus menunggu selama lima tahun semenjak berakhir menjalani hukuman. Putusan MK ini berdampak pada munculnya sejumlah mantan napi korupsi untuk mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah dalam Pilkada, dan bahkan ada yang terpilih kemudian mengulangi melakukan tindak pidana korupsi kembali yaitu Bupati Kudus, M Tamzil," ujarnya.
2. Putusan No. 25/PUU-XIV/2016
Di mana MK menghapus kata "dapat" dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Dengan putusan ini, delik korupsi yang selama ini sebagai delik formil berubah menjadi delik materil yang mensyaratkan ada akibat yakni unsur kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata/pasti. Dengan adanya putusan ini, maka dampaknya adalah pengusutan kasus korupsi berdasarkan Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi sulit dilakukan karena KPK bakal sangat bergantung pada badan pemeriksa keuangan.
"Apabila BPK tidak segera mengeluarkan perhitungan kerugian negara yang nyata (actual loss) atas permintaan penegak hukum, dapat dipastikan pengusutan tindak pidana korupsi akan terhambat," ujarnya.
3. Putusan Nomor 21/PUU-XIV/2016
MK menghapus pidana permufakatan jahat dalam perkara korupsi di Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
"Akibat MK mengabulkan gugatan terkait penafsiran "pemufakatan jahat" yang diajukan Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI ini maka pada waktu itu berimplikasi dihentikannya proses hukum penyelidikan perkara korupsi skandal "papa minta saham" yang ditangani oleh pihak Kejaksaan Agung," ucap Bayu.
4. Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017
MK menyatakan lembaga negara Independen seperti KPK bisa menjadi objek angket oleh DPR RI.Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa KPK adalah adalah lembaga eksekutif. Putusan MK ini tak konsisten dan bertentangan dengan empat putusan terdahulu yaitu putusan nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011 di mana MK menegaskan, KPK merupakan lembaga independen yang bukan berada di dalam ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
"Akibat putusan MK ini maka independensi KPK terancam karena setiap saat DPR bisa menggunakan hak angketnya terhadap KPK," cetus Bayu.(dtc)