Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Yogyakarta - Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir menyebut keputusan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tidak mengizinkan penggunaan Masjid Gede sebagai lokasi acara Muslim United sebagai kebijakan. Ia berharap adanya kebijakan tersebut dibarengi dengan sosialisasi dan dialog.
"Kami menghargai setiap pilihan-pilihan kebijakan (Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang tidak mengizinkan penggunaan Masjid Gede untuk acara Muslim United). (khususnya) Ketika kebijakan itu diambil untuk menjaga keutuhan masyarakat, keutuhan bangsa," kata Haedar saat ditemui di Universitas Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Kamis (10/10/2019).
Selain itu, kata Haedar, kebijakan tersebut harus dibarengi dengan sosialisasi dan dialog dengan pihak-pihak terkait. Hal itu bertujuan agar masyarakat paham dengan langkah-langkah yang diambil, begitu pula dengan pihak penyelenggara acara.
"Tapi itu tadi juga, kelompok-kelompok sosial politik agama itu perlu makin dewasa, ketika kita punya ruang demokrasi untuk kegiatan-kegiatan publik gunakan itu untuk merekat kebersamaanm meningkatkan kecerdasan, mencerahkan hati," ucapnya.
"Bukan hal-hal yang justru membuat kita ini sebagai bangsa justru semakin ada kerenggangan satu sama lain, jadi di situ kuncinya," imbuh Haedar.
Ia menilai perlunya regulasi khusus dan etika berdemokrasi dalam setiap kegiatan bertema agama. Hal itu agar polemik acara muslim united di Masjid Gede Kauman tidak terulang di kemudian hari.
Haedar mengatakan, kehidupan politik nasional dan keagamaan adalah hal yang bersifat dinamis. Dalam perjalanannya kerap memunculkan perbedaan pikiran yang dapat memicu masalah, baik berorientasi pada politik dan sebagainya.
"Dalam konteks kehidupan kita demokrasi memerlukan transparansi, tetapi juga etika publik gitu ya. Kejadian-kejadian seperti ini perlu menjadi hikmah dan pelajaran buat kita semua dalam konteks konsolidasi demokrasi," ujarnya.
"Pertama, perlu ada regulasi, regulasi dalam kehidupan kebangsaan kita termasuk menyambut Kampus kemudian Masjid di mana regulasi itu bersifat objektif. Sehingga rambu-rambunya jelas, mana yang boleh mana yang tidak boleh. Sehingga orang bisa ceramah atau tidak bisa ceramah di kampus atau Masjid itu berdasar pada regulasi yang orang semua sudah pada tahu, gitu ya," sambung Haedar.
Menurut Haedar, hal itu karena demokrasi memerlukan regulasi yang sifatnya mengatur. Terlebih, saat ini masih banyak masalah serupa yang terjadi di internal kampus, internal masjid bahkan di ruang publik.
"Yang kedua menyangkut etika kita berdemokrasi berbangsa dan bernegara. Jadi tokoh agama tokoh elite politik, tokoh elite sosial juga perlu memiliki platform pemikiran kebangsaan keagamaan yang bisa mengarah ke titik temu," ujarnya
"Sehingga setiap tokoh berpikir membawa persatuan keutuhan bangsa, kedamaian, lalu juga kebersamaan. Nhah, ketika diantara tokoh elite baik agama, sosial, kemasyarakatan dan politik melewati batas-batas kepentingan publik itu biasanya bisa jadi masalah kan. Lalu ada kelompok ini menolak ini, kelompok ini menolak itu," imbuh Haedar.
Karena itu, Haedar menyebut dua hal tersebut perlu diterapkan agar kejadian serupa tidak terjadi di kemudian hari.
"Maka 2 hal itu menurut saya menjadi penting, bagaimana kita menguatkan konsolidasi demokrasi untuk penguatan regulasi, yang kedua etika demokrasi dan perikehidupan kebangsaan termasuk di dalam kehidupan beragama," kata Haedar.
Diketahui bersama, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tak mengabulkan permohonan penggunaan Kagungan Ndalem (KgD) Masjid Gedhe Keraton (Kauman) beserta halaman, Ndalem Pengulon, dan Alun-alun Utara sisi barat untuk kegiatan Muslim United. Kegiatan itu rencananya digelar pada 11-13 Oktober 2019.
Kegiatan bernama 'Muslim United: Sedulur Saklawase' itu diadakan oleh Forum Ukhuwah Islamiyyah. Pihak panitia sebelumnya melayangkan surat permohonan untuk menggunakan KgD Masjid Kauman. dtc