Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kita tidak happy dengan kejadian terhadap Menkopolhukam Wiranto, Kamis siang (10/10/2019). Sedikit banyaknya menimbulkan kekhawatiran global terhadap Indonesia, khususnya di bidang investasi. Karena itu kita mendukung kiranya aparat keamanan sigap bergerak menyingkapkan, apalagi jika benar peristiwa itu terkait dengan jaringan teroris. Para investor pun sangat menunggunya.
Belakangan ini gelombang demonstrasi yang menuntut dikeluarkannya Perppu tentang KPK marak. Gelombang eksodus dari Wamena masih mengalir walau konon situasi keamanan sudah mulai kondusif. Kisah OTT oleh KPK juga belum berhenti.
Jika menoleh ke Singapura, kita masygul. Memang, estimasi pertumbuhan ekonomi Singapura pada kuartal II 2019 hanya 0,1%. Namun mereka bisa “memakan” cadangan devisa sebesar US$ 292,5 miliar per akhir Februari 2019.
Sebaliknya, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2019 hanya sebesar US$ 124,54 miliar. Padahal pertumbuhan ekonomi mencapai 5,1%.
Pun, stabilitas politik awet. Partai oposisi hanya 6 kursi versus partai berkuasa, People’s Action Party dengan 83 kursi.
Singapura tidak terlalu percaya bahwa jika demokrasi paten, maka orang-orang yang tidak becus akan get out dan digantikan dengan yang kompeten.
Singapura rada apolitis. Mereka lebih suka membangun. Mengandalkan kejujuran, good governance, kecakapan dan komitmen pemimpin. Juga supremasi hukum, keamanan, ekonomi yang ramah untuk investasi asing,
Para pebisnis sejalan dengan pemerintah. Tak boleh “aneh-aneh.” Termasuk media massa jadi “good boy” sehingga masyarakat mengerti dan mendukung program pemerintah.
Iklim Singapura itu susah rasanya jika diterapkan di sini. Luas wilayahnya pun kecil. Gampang dikontrol. Kita sangat luas. Masyarakatnya plural. Jadinya, atmosfir demokrasilah yang bisa mewadahinya.
Kita miris “meniru” Singapura, yang rada mirip trilogi pembangunan ala Orde Baru. Ya, stabilitas politik. keamanan dan pertumbuhan ekonomi plus pemerataan. Kita trauma mengenang rezim yang memberangus lawan-lawan politik, dan lalu menjinakkannya. Belum lagi berbagai kasus pelanggaran HAM.
Lalu, harus bagaimana? Apakah harus mengajak semua parpol ikut dalam kabinet supaya mayoritas fraksi di parlemen mendukung pemerintahan? May be yes, may be no!
Kabar baiknya, masih ada civil society, yang bisa kritis. Tak zamannya lagi didikte oleh kekuasaan, meski tak berarti melawan pemerintah. Ah, kita rindu bisa merasa happy, seperti negara jiran Singapura.