Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Pemerintah kabupaten bersama DPRD Simalungun diharapkan pro masyarakat adat dalam mencari jalan keluar polemik hutan/tanah adat Sihaporas. Hal ini mengemuka dalam diskusi publik bertema "Quo Vadis Hutan Adat di Sihaporas?” yang diselenggarakan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Pematang Siantar di Pematang Siantar, Selasa (29/10/2019) siang.
Demikian keterangan tertulis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang diterima medanbisnisdaily.com, Rabu pagi (30/10/2019).
Diskusi menghadirkan beberapa narasumber, antara lain, Hotbeen Ambarita (tetua adat Sihaporas dari Desa/Nagori Sihaporas), Roganda Simanjuntak (Ketua AMAN Tano Batak), Muldri Pasaribu (akademisi), Djonner Sipahutar (Kepala UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah II Pematangsiantar) Prihartini Simbolon (Staf advokasi Bakumsu) dan Edis Galingging (Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Pematangsiantar).
Ketua Presidium PMKRI Pematangsiantar, Albion Samosir dalam sambutannya mengatakan, diskusi ini, diharapkan menyatukan pemahaman dan pengakuan terhadap hutan adat yang ada di Simalungun terkhusus hutan adat di Sihaporas yang sedang diperjuangkan masyarakat
Dalam kesempatan itu, Hotben Ambarita menjelaskan sejarah masyarakat adat di Sihaporas. Dikatakannya, wilayah adat di Sihaporas dimulai sejak datangnya Oppung Mamontang Laut Ambarita dari Ambarita di Pulau Samosir ke Sihaporas, yang menjadi Nenek Moyang Sihaporas. Tercatat hingga kini telah ada 11 generasi yang masih bermukim wilayah hutan adat Sihaporas.
Sementara itu, dalam paparannya, Muldri Pasaribu menjelaskan, permasalahan hutan adat tidak lepas dari regulasi warisan kolonial dalam melakukan eksploitasi sumber daya alam di Indonesia. Yakni Undang-undang Agraria tahun 1870 (Agrarische Wet 1870). Setelah itu ada banyak regulasi yang mengatur tentang hutan adat di Indonesia. Antara lain, UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok Agararia hingga UU No 41 Tahun 1999. Terkahir putusan Mahkamah Konstitusi No 35 Tahun 2012.
"Pengakuan terhadap kesatuan masyarakat adat merupakan salah satu wujud dari tujuan negara Indonesia di dalam melindungi warganya. Terdapat juga nilai-nilai yang pada akhirnya mencapai kesejahteraan bagi masyarakat luas," ujarnya.
Roganda Simanjuntak, menjelaskan, terbitnya sertifikat wilayah adat oleh Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) merupakan momentum agar negara segera mengakui hutan adat Sihaporas. Pemkab Simalungun harus segera mengeluarkan Perda ataupun surat keputusan bupati tentang pengakuan hutan adat di Sihaporas.
Sementara itu, Djonnes Sipahutar, menegaskan, pada dasarnya negara sudah mengakui adanya hutan adat, tinggal bagaimana masyarakat agar mematuhi segala regulasi yang ada dan mengajukan permohonan hutan adat kepada bupati maupun DPRD. Ia mengajak agar permasalahan ini diselesaikan dengan menyatukan persepsi.
Hal yang sama juga dijelaskan anggota DPRD Simalungun, Lindung Samosir. Lindung meminta agar persoalan ini diselesaikan dengan duduk bersama dengan pihak-pihak terkait.