Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kenaikan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Nasional, telah mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan kelas 3 menjadi Rp 42.000/bulan, kelas 2 menjadi Rp 110.000/bulan dan kelas 1 menjadi Rp 160.000/bulan.
Kenaikan iuran yang berlaku per Januari 2020. Kecuali bagi peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) Jaminan Kesehatan dan penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah dan Pusat, yaitu menjadi Rp 42.000 per orang per bulan, diputuskan berlaku surut mulai 1 Agustus 2019.
Dengan hitungan dari 96,6 juta orang PBI APBN plus 37 juta orang PBI APBD dikali 5 bulan (Agustus - Desember 2019) dikali Rp 19.000. BPJS akan mendapatkan dana penambahan penerimaan iuran sebesar Rp 12.7 triliun, untuk menutupi defisit tahun 2019 yang diprediksi sebesar Rp 28,5 triliun.
Kenaikan iuran ini merupakan berita buruk sekaligus kado akhir tahun yang menjadi beban tersendiri bagi masyarakat, begitu juga rencana kenaikan tarif listrik, jalan tol dan cukai rokok tahun depan, yang tentunya akan berimplikasi pada kenaikan harga barang dan kebutuhan pokok.
Lemahnya Tata Kelola BPJS
Kenaikan iuran ini adalah cermin dari pilihan jalan termudah tanpa alternatif dari pemerintah dan BPJS Kesehatan. Padahal sejak wacana kenaikan iuran BPJS mulai disampaikan, masyarakat sudah menyatakan keberatan. Apalagi dengan adanya temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait defisit BPJS Kesehatan yang diungkapkan pada 21 Agustus 2019.
BPKP merekomendasikan perbaikan pengelolaan program JKN yang meliputi aspek kepesertaan dan penerimaan iuran, biaya manfaat jaminan kesehatan, dan strategic purchasing. Seperti adanya temuan badan usaha yang belum bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, lalu ada perusahaan yang melaporkan jumlah pegawai dan penghasilan yang lebih rendah dari seharusnya.
Permasalahan validasi dan integritas data BPJS Kesehatan, seperti nomor induk kependudukan yang salah, NIK ganda, hingga peserta yang seharusnya tidak masuk ke kelompok miskin/penerima PBI.
Pada aspek manajemen biaya manfaat, BPKP menemukan belum efektifnya pencegahan kecurangan oleh BPJS Kesehatan, Dinas Kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat pertama, dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan.
Begitu juga dengan temuan Tim Intelijen Kejati Sumut tentang penyimpangan pencairan dana BPJS di salah satu Rumah Sakit (RS) swasta di Sumut. Penyimpangan ini diperkirakan membuat kerugian negara hingga mencapai angka Rp 5 miliar per satu rumah sakit. Menurut Kejatisu ada sekitar 40 rumah sakit yang berpotensi melakukan kecurangan sejak dari tahun 2014 sampai 2018.
Sementara di bidang strategic purchasing, BPKP menemukan klasifikasi rumah sakit yang tidak sesuai dengan kriteria persyaratan dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Ketidaksesuaian ini dinilai terjadi dalam aspek pelayanan, sumber daya manusia, dan sarana prasarana. Inilah yang mengakibatkan terjadinya in-efisiensi atas tarif klaim rumah sakit.
Beratnya Beban Masyarakat
Kenaikan iuran yang fantastis sebagai solusi mengatasi defisit, sangatlah memberatkan bagi peserta mandiri. Tingginya kenaikan akan mengakibatkan menurunnya keinginan dan kemampuan membayar, bahkan besar kemungkinan akan memicu tunggakan yang lebih masif dan gerakan turun kelas para peserta demi membayar iuran yang lebih murah. Jika fenomena ini yang terjadi, justru akan kontraproduktif dalam upaya mengurangi defisit BPJS jangka panjang.
Sebagai contoh, untuk peserta kelas II yang mengalami kenaikan dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000. Jika dalam satu keluarga terdiri dari suami, isteri, dan 3 orang anak (satu keluarga 5 orang), maka pembayaran per bulan sebesar Rp 660.000. Dengan UMK Kota Medan Rp 2,9 juta/bulan, diakumulasi dengan biaya sekolah anak dan kebutuhan hidup tentunya sudah sangat memberatkan.
Sementara bagi perusahaan dan buruh yang dibayarkan perusahaan, juga akan semakin membebani, karena iuran BPJS Kesehatan dari buruh besarnya 5% dari upah. Di mana 4% dibayarkan pengusaha dan 1% dibayarkan buruh.
Dengan kondisi di atas, kemungkinan massifnya migrasi kepesertaan dari kelas I ke kelas II atau III dan tunggakan pembayaran iuran, sangat memungkinkan untuk terjadi. Walaupun ada wacana ancaman tidak bisa mengakses pelayanan publik ketika masyarakat tidak membayar iuran BPJS Kesehatan, seperti SIM, paspor dan lainnya, ancaman kebijakan ini justru akan memberikan kesan pemerasan secara legal terhadap rakyat.
Kemudian, apakah dengan menaikkan iuran maka akan menjawab permasalahan defisit yang berulang dan terjadi setiap tahun? Semestinya proses audit dan evaluasi menyeluruh untuk menemukan akar masalah defisit BPJS Kesehatan yang kemungkinan akibat buruknya tata kelola dan manejerial, sebagaimana temuan BPKP, menjadi fokus utama, bukan kemudian menjadikan beban defisit ditimpakan kepada rakyat melalui kenaikan iuran.
BPJS sebagai Badan Pelaksana Konstitusi
BPJS Kesehatan adalah badan pejaminan kesehatan dengan hukum publik, bukan PT atau BUMN yang bertugas untuk mencari keuntungan. Sesuai dengan prinsip dan filosofi tujuan BPJS yang diamanatkan UUD 1945, UU SJSN DAN UU BPJS. Berfungsi untuk pemenuhan hak atas kesehatan, sesuai dengan mandatnya, bahwa tahun 2019 ini seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali sudah harus menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Secara konstitusional jaminan kesehatan merupakan tanggung jawab negara, berdasarkan UUD 1945 pasal 28H ayat (3), yang berbunyi " Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat ".
Kemudian Pasal 34 ayat (2) dan (3) " Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan " serta " Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak".
Secara khusus dalam UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS Pasal 4 menyatakan prinsip penyelenggaran sistem jaminan sosial nasional oleh BPJS, adalah, kemanusiaan kegotongroyongan dan akuntabilitas. Dengan prinsip dasar bahwa tujuan utama penyelenggaran BPJS adalah untuk menjamin kehidupan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Maka sangat diperlukan penanganan yang fundamental revolusioner, bukan hanya sekedar menaikkan iuran. Keterbukaan informasi pengelolaan, PBI yang lebih tepat sasaran, pencegahan kecurangan dan kebocoran untuk memperkecil defisit anggaran BPJS Kesehatan. Sampai pengawasan Perusahaan agar membayar iuran kepesertaan pegawainya, sesuai dengan jabatan dan penghasilan.
Bagaimana memunculkan skema baru mengatasi defisit melalui penggunaan cukai hasil dari Restoran, Fast Food, Tempat hiburan dan Alkohol. Hingga cukai kendaraan bermotor karena asap kendaraan merugikan kesehatan.
Program JKN merupakan amanah konstitusi. Maka alangkah lebih baik dilakukan proses kajian dan studi mendalam untuk memperoleh solusi jangka panjang. Karena BPJS kesehatan logic order-nya bukanlah bisnis, tetapi memberikan nilai lebih, berupa jaminan kesejahteraan dan perlindungan, sebagai bentuk nyata keberpihakan negara kepada rakyatnya.
*Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya . Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan identitas atau biodata diri singkat (dalam satu-dua kalimat untuk dicantumkan ketika tulisan tersebut dimuat). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Kirimkan tulisan dan foto (minimal 700 px) Anda ke [email protected].