Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menilai putusan ringan terhadap 4 oknum Polri terdakwa pemerasan adalah cermin tindakan pembiaran dari majelis hakim. Diketahui, 4 Oknum Polri yang bertugas di Polsek Medan Area itu hanya divonis 6 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (10/12/2019) kemarin.
"Vonis tersebut merupakan putusan yang secara tidak langsung membiarkan tindakan pemerasan dan pengancaman oleh oknum Polri. Ke depan pasti akan tetap ada penjahat penjahat negara seperti ini," tegas Maswan Tambak SH, mewakili LBH Medan terkait putusan ringan 4 oknum tersebut, Rabu (11/12/2019) sore.
Dijelaskan Maswan yang menjabat sebagai Kadiv Buruh dan Miskin Kota LBH Medan ini, bahwa dalam perkara ini korban adalah pelapor atas dugaan tindak pidana pemerasan dan pengancaman yang dilakukan oleh 5 terdakwa yaitu 4 anggota Polri, Aiptu Jefri Panjaitan, Brigadir Akhirudin Parinduri, Bripka Jenli Damanik, Briptu Arifin Lumbangaol dan Dedi Pane (sipil), sesuai dengan Tanda Bukti Lapor Nomor : STTLP/689/III/2019/RESTABES MEDAN Tertanggal 27 Maret 2019.
Bahwa atas tindakan para oknum polisi tersebut telah disidangkan di Pengadilan Negeri Medan dengan register perkara Nomor 2292/Pid.B/2019/PN.Mdn dimana para terdakwa a.n Aiptu Jefri Panjaitan, Brigadir Akhirudin Parinduri, Bripka Jenli damanik dan Briptu arifin lumbangaol didakwa dengan pasal 368 ayat (1) Jo. Pasal 55 Ayat (1) KUHPidana.
Bahwa perlu disampaikan, tambah Maswan, sebelum sidang dengan agenda nota pembelaan/pledoi digelar, agenda sidang pemeriksaan saksi-saksi ade charge sempat tiga kali gagal dilaksanakan tanpa alasan yang jelas dan hal ini menjadikan korban menduga ada proses hukum yang dipermainkan jaksa penuntut umum (JPU) dengan para terdakwa atau mungkin ada sesuatu yang sedang dipersiapkan untuk kepentingan para terdakwa.
"Dari persidangan yang kami pantau, pada saat pemeriksaan terdakwa jelas bahwa keterangan mereka di persidangan berbelit-belit sampai majelis hakim berulang kali mengingatkan para terdakwa untuk memberi keterangan yang jelas bahkan sempat mengancam hukuman tambahan apabila keempatnya memberikan keterangan palsu, sehingga apabila berpijak dari hal ini tentu dapat menjadi dasar untuk memberatkan tuntutan dan hukuman para terdakwa," beber Maswan lagi.
Kejanggalan berikutnya, masih kata Maswan, agenda sidang tuntutan seharusnya digelar pada, 12 November 2019 namun karena kedua JPU beralasan sama yaitu belum menyelesaikan tuntutannya sehingga sidang harus ditunda. pada, 19 November 2019 di persidangan terbuka untuk umum JPU Artha Rohani Sihombing, SH menuntut keempat terdakwa oknum Polri selama ini hanya 6 bulan penjara dan oleh JPU Joice V. Sinaga, SH terhadap Dedi pane dituntut 8 bulan penjara.
"Bahwa ancaman hukuman pasal 368 ayat (1) Jo. Pasal 55 Ayat (1) KUHPidana yang didakwakan kepada para terdakwa adalah selama-lamanya 9 tahun, jika melihat perkara a quo maka jelas perbuatan tersebut dilakukan oleh oknum kepolisian yang seharusnya mengetahui hukum namun justru melanggar hukum sehingga jika keempat terdakwa dituntut hanya selama 6 bulan maka hal wajar jika lahir persepsi bahwasanya antara JPU telah bermufakat jahat dengan terdakwa keempat oknum polisi tersebut, karena selain harus memperhatikan pembuktian, seharusnya JPU juga harus memperhatikan kepentingan hukum korban sebagai warga negara yang juga harus dipandang sebagai pihak yang berkepentingan karena telah dirugikan oleh oknum polisi yang digaji oleh negara dari uang rakyat dan seharusnya melindungi rakyat," tegas Maswan lagi.
Selain itu, untuk menjatuhkan putusan, majelis hakim tidak berpatokan pada tuntutan JPU karena sebagaimana diketahui bersama hakim dalam menjatuhkan putusan tentu terlebih dahulu bermusyawarah dengan didasarkan Surat Dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti di persidangan.
"Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 182 Ayat (4) KUHAP dan berkaitan dengan pasal ini tentu majelis hakim juga tidak wajib menjatuhkan putusan yang sama dengan tuntutan atau lebih rendah dari tuntutan artinya majelis hakim berwenang untuk menjatuhkan putusan yang lebih tinggi dari tuntutan JPU," tudingnya.
Lebih sadisnya lagi, pada 10 Oktober 2019 majelis hakim membacakan putusannya dimana pada, 10 Oktober 2019 bertepatan dengan peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, sehingga majelis hakim jelas mencoreng wajah peradilan di Indonesia khususnya di Medan.
"Terhadap putusan tersebut, tentu Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial memiliki peran penting dalam menindak hakim-hakim seperti ini, jangan sampai ada korban selanjutnya akibat buruknya peradilan di Medan ini. Sebab, dengan dijatuhkan hukuman 6 bulan kepada ke empat oknum Polri tersebut, kami menilai majelis hakim telah mengabaikan rasa keadilan korban dan kami menduga majelis hakim terlibat dalam konspirasi peradilan a quo," terangnya.