Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Mesanbisnisdaily.com - Medan. Puluhan buruh PT Agro Energi Indonesia (AEI) mengambil alih atau menguasai (melak) pabrik tempat mereka bekerja dari tangan pemiliknya. PT AEI merupakan produsen pupuk organik yang berlokasi di Jalan Bandar Labuhan Negara, Dusun Senembah, Desa Limau Mungkur, Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara.
Tindakan melak atau mengambil alih PT AEI yang berpusat di Surabaya tersebut dilaksanakan dua hari lalu (Kamis, 23/1/2020). Disaksikan kuasa hukum para buruh dari kantor hukum Jonni Silitonga SH MH dan rekan. Yakni Jonni Silitonga, Samsul Aripin Silitonga dan Siska Elisabet Barimbing.
Dengan cara memasang spanduk bertuliskan "ASET PERUSAHAAN PT AGRO ENERGI INDONESIA DALAM PENGUASAAN SELURUH KARYAWAN SEBAGAI JAMINAN PEMBAYARAN GAJI DAN HAK-HAK KARYAWAN" di pintu kantor perusahaan (di bagian dalam area pabrik), PT AEI dilak. Satu lagi spanduk serupa ditempel di bagian liar. Pintu masuk ke dalam pabrik yang terbuat dari besi digembok agar tak ada satupun yang bisa masuk.
"Siapapun yang mau masuk menguasai atau menjalankan perusahaan ini, lebih dulu mereka harus membayar hak-hak kami," kata salah seorang buruh perempuan, Nur Aisyah (27), menjelaskan kepada medanbisnisdaily.com, Sabtu (25/1/2020), maksud tindakan mereka melak PT AEI.
Sejumlah alat produksi yang masih dapat difungsikan berada di pabrik tersebut. Di antaranya dua unit mesin jenset dan yang lainnya.
Kata Nur Aisyah, sudah sejak Juni 2019 lalu pabrik pupuk organik itu berhenti usahanya. Akibat kerja sama yang terputus dengan PT Petrokimia Gresik bidang pupuk organik. Sebelumnya sejak 2014 kerja sama keduanya lancar-lancar saja. PT AEI memproduksi pupuk organik sesuai purchase order (PO) dari Petrokimia. Setidaknya 1.000 ton setiap bulannya.
Kepada Nur Aisyah dan rekan kerjanya yang lain, berjumlah 40 orang, oleh Direktur PT AEI, Imam Santoso, disebutkan sementara perusahaan menunggu order agar bisa kembali beroperasi mereka dirumahkan. Terhitung sejak 1 Juni 2019, hingga September. Dengan pembayaran gaji 50% dari nilai normal.
"Tapi sampai sekarang tak ada kabar apapun, upah kami selama dirumahkan tak serupiah pun dibayar," ungkapnya.
Satu ketika Nur Aisyah melalui aplikasi percakapan WhatsApp pernah menghubungi Imam yang katanya berada di Surabaya. Mempertanyakan pembayaran upah serta status pada buruh, apakah sudah di-PHK (dipecat) atau masih memungkinkan dipekerjakan. Jawabnya, mereka malah dianjurkan mencari alternatif pekerjaan lain.
"Itu artinya secara tidak langsung disuruh mengundurkan diri," terangnya.
Sejak September 2019, Nur Aisyah beserta rekan-rekannya bergerilya memperjuangkan status dan hak-hak mereka. Didampingi Jonni Silitonga Cs sebagai pembela. Mengejar Imam yang "lari malam" agar mempertanggungjawabkan kewajibannya.
Ternyata "dosa" PT AEI tak sekedar menelantarkan nasib Nur Aisyah Cs dengan tidak menetapkan status kerja mereka. Bertahun-tahun bekerja, sejak perusahaan tersebut memindahkan pabriknya dari Kawasan Industri Medan tahun 2014 ke Del Sserdang, upah buruh berada di bawah ketentuan. Cuma Rp 1,8 juta, terakhir naik jadi Rp 2 juta. Semestinya, sesuai ketentuan di atasnya.
Kata Jonni, pelanggaran tersebut, menurut UU No. 13/2003, merupakan tindak pidana.
Dijelaskan Jonni, manajemen PT AEI juga telah melakukan kejahatan penggelapan. Tahun 2017 hingga pabrik berhenti berproduksi, setiap bulannya upah buruh dipotong Rp 70.000-an per orang guna pembayaran iuran BPJS Ketenagakerjaan. Namun oleh perusahaan terhitung sejak Juni 2018 sampai 2019 uang tersebut tidak disetorkan.
Upaya hukum serta mediasi (perundingan) atas pelanggaran-pelanggaran PT AEI sudah coba dilakukan Nur Aisyah Cs bersama Jonni Cs. Pertama, dengan mengadu ke Dinas Tenaga Kerja Deli Serdang. Kedua, melakukan somasi. Akan tetapi belum satu pun di antaranya yang dihadiri Imam atau pihak manajemen lainnya.
"Dari tiga kali usaha tripartit dengan Disnaker yang seluruhnya kami hadiri, belum sekalipun pihak perusahaan hadir. Mudah-mudahan dalam waktu dekat Disnaker menerbitkan anjuran," terang Jonni.
Penggelapan yang dilakukan PT AEI, dengan cara tidak menyetorkan dana BPJS Ketenagakerjaan, akan dijadikan celah hukum guna menyeret Imam dan manajemen lainnya. Segera Nur Aisyah dan Jonni mengadukan tindak pelanggaran KUHP itu ke Polda Sumut.
"Semoga dengan pengaduan ke kepolisian ini manajemen PT AEI bisa diseret hadir guna mempertanggungjawabkan hak-hak buruh," tegas Jonni.
Pihak perusahaan belum berhasil dikonfirmasi terkait masalah yang disampaikan para buruh tersebut. Imam Santoso yang coba dikonfirmasi lewat HP dan WA belum merespon.