Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Marilah sejenak mengenang ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dektrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan konstituante produk Pemilu 1955. Dia juga memenjarakan Koes Bersaudara karena menyanyikan lagu-lagu The Beatles dan Elvis Presley. Mochtar Lubis, Pemimpin Harian Indonesia Raya masuk penjara tanpa proses hukum karena gemar mengkritik Soekarno.
Di era orde baru yang dipimpin Presiden Soeharto, TNI/Polri menjadi anggota DPR walau tanpa melalui Pemilu. Tokoh-tokoh yang kritis dikucilkan, malah ada yang masuk bui. Pagelaran drama Teater KOMA dan baca puisi Rendra dilarang. Sejumlah media yang kritis dibredel.
Sejarah bercerita bahwa transformasi politik selalu bersumber dari rezim yang berkuasa. Sumber informasi yang resmi dan benar adalah pemerintah. Jika ada suara-suara yang berbeda akan dicap “anti revolusi” di era orde lama. Frasa yang seram itu menjadi stigma “anti pembangunan” di masa orde baru.
Namun tibalah era reformasi, 1998, tumbangnya orde baru pun dirayakan. Sumber informasi pun menyebar. Tak hanya dimonopoli oleh pemerintah, tapi juga DPR yang semula hanya “tukang stempel” kebijakan pemerintah. Juga direbut oleh kalangan kaum cendekia, pers, civil society, dan rakyat.
Kebebasan menyatakan pendapat semakin kental ketika media sosial seperti facebook diperkenalkan Mark Zuckerberg pada 2004. Pidato presiden, sikap anggota DPR, kebijakan menteri dan pejabat pun ramai dikritik.
Tapi, eh, tiba-tiba ada keluhan. Jika mencermati media sosial, kadang isinya saling menghujat, isinya saling ejek, isinya saling maki, banyak yang fitnah, adu domba, provokasi.
Kebebasan telah kebablasan? Memang, mencemaskan dan disesalkan. Meski tak sedikit postingan di facebook memuat info penting yang tak ada di media mainstream. Selain juga beragam anekdot yang lucu.
Bahkan, jika dihitung dengan yang berakhir dengan penegakan hukum, kasusnya hanya sedikit. Bayangkan jutaan postingan di media sosial, tapi hanya segelintir kecil yang menuai kasus hukum. Ironsnya, gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga.
Beda pendapat, yang bukan fitnah, menista, adu domba provokasi, akan mematangkan demokrasi. Bisa menjadi katarsis yang meredakan suhu konflik.
Bila kritik sudah dilampiaskan lewat kata-kata, biasanya emosi reda dan tangan pun jinak dalam saku. Adapun “kebenaran” adalah proses pencarian yang berinteraksi terus menerus sehingga suatu hari zaman pun berbicara, mana yang benar dan mana yang salah.