Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Indra Zamachsyari terkait kasus dugaan pencemaran nama baik melalui Telegram, dengan terdakwa Isan Wijaya, dinilai kabur. Pasalnya, dakwaan tersebut dianggap tidak cermat, jelas, dan lengkap karena tidak mencermati kronologis peristiwa hukum yang sebenarnya.
Hal itu diungkapkan terdakwa melalui penasihat hukumnya, Roy Fernando Salim Sinaga SH, saat membacakan nota keberatan (eksepsi) atas dakwaan JPU, di Ruang Cakra 7 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Rabu (19/2/2020) siang.
"Bahwa dakwaan JPU tidak sesuai diatur dalam Pasal 143 Ayat (2) huruf b dan Ayat (3) KUHAP. Majelis hakim harus mengetahui, terdakwa tidak pernah melakukan penghinaan terhadap saksi Agus Arianto Samosir di dalam postingan grup telegram United MIA member for Justice," ujar Roy di hadapan majelis hakim diketuai, Tengku Oyong.
Padahal, lanjut Roy, postingan di akun telegram terdakwa hanya mengirim kalimat "saya sendiri sudah menjadi korban pengacara kaleng-kaleng yang mau memeras. Saya berikan buktinya. Supaya jangan anda semua akan menjadi korban berikutnya memanfaatkan insiden mia. Banyak sekali pengacara kaleng-kaleng yang suka memanfaatkan kesempatan seperti ini untuk memeras orang", bukan ditujukan ke saksi Agus Arianto Samosir melainkan ke oknum pemeras berinisial SIG.
"Oknum SIG menyatakan dirinya pengacara terkenal dan anggota BIN dengan status palsu. Oknum tersebut memeras terdakwa sebesar Rp500 juta tunai. Adanya pemerasan ini, terdakwa bermaksud untuk memberikan informasi kepada memberi grup telegram MIA member for Justice," ungkap Roy.
Dakwaan JPU yang menyatakan, saksi telah mengirimkan somasi ke terdakwa pada 24 Juli 2019. Tetapi, pada 27 Juli 2019, SIG memberitahukan ke saksi Agus bahwa terdakwa membuat postingan akun telegram terdakwa tentang gambar surat somasi tersebut.
Di dalam grup itu, kata Roy, ada pemilik akun telegram Hartono (yang tidak diketahui keberadaannya) membuat komentar terhadap postingan gambar surat somasi yang dikirim terdakwa. Adapun isi komentar tersebut, "Bro ini siapa yang nuntut?? Pengacaranya? Korban siapa? A***** ni, lagi musibah dimanfaatin lagi hati-hati yang sudah kasih data. Ada yang gak bener ini".
Tetapi, JPU tidak mencermati postingan yang secara lengkap dan utuh. Karena peristiwa tersebut JPU mendakwa terdakwa dengan Pasal 27 Ayat (3) Jo. Pasal 45 Ayat (3) UU RI No.19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) .
"Dakwaan JPU tidak cermat, jelas, dan lengkap dalam membuat surat dakwaan. JPU tidak memperhatikan, mencermati keterangan saksi dan terdakwa di dalam BAP. Postingan tersebut ditujukan kepada siapa maka sepatutnya dakwaan JPU dapat dikategorikan sebagai dakwaan yang bersifat kabur dan tidak jelas (obscuur libel)," sebutnya.
Maka dari itu, lanjut Roy, pihaknya meminta majelis hakim yang mengambil keputusan ini, agar menerima eksepsi dari penasihat hukum terdakwa. Menyatakan dakwaan JPU nomor registrasi : PDM-115/EKU.2/01/2020, dinyatakan batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak diterima.
"Menyatakan perkara aquo tidak diperiksa lebih lanjut dan memulihkan harkat martabat dan nama baik terdakwa," harapnya.
Usai mendengarkan eksepsi terdakwa, majelis hakim memberi kesempatan kepada JPU untuk mengajukan tanggapan atas eksepsi (replik) yang akan dilakukan pada pekan depan.
"Kami akan mengajukan replik secara tertulis, majelis," ujar JPU, hingga majelis hakim pun langsung menunda sidang.
Di luar sidang, terdakwa didampingi kuasa hukumnya menceritakan kronologis bagaimana, postingan itu ditujukan ke oknum SIG. Antara terdakwa dan oknum tersebut terkait perkara bisnis di forex. Sebab perusahaan tersebut sedang untung rugi sehingga, SIG mengaku sebagai pengacara seakan menjembatani persoalan itu.
"Jadi tidak mungkin Isan Wijaya menghina advokat, karena dia sendiri pun punya advokat. Jelas, oknum SIG yang mengaku pengacara ketika dicek memang dia bukan pengacara," terangnya.