Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pro dan kontra proses penyusunan dan substansi draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja atau Omnibus Law, yang menurut pemerintah untuk memuluskan derasnya invenstasi dan mengatasi tingginya angka pengangguran usia produktif sebagai bonus demografi, justru seperti lahir untuk mematikan demokrasi politik, ekonomi, ekologi, dan tatanan hukum (rule of law).
RUU Cipta kerja sejatinya berulang kali dinyatakan untuk mempercepat proses investasi dan memutus rantai birokrasi yang panjang dan dianggap lambat, sehingga membuat tidak meratanya pembangunan, akibat dari banyaknya yang investor yang tertahan bahkan memindahkan modalnya kenegara lain seperti Thailand dan Vietnam.
Dengan dalih peningkatan investasi dan ekspor sebagai jalan memperbaiki defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan serta menciptakan lapangan kerja. Pemerintah kemudian membentuk Satgas Omnibus Law berisi 127 orang yang mayoritas pengusaha dan dipimpin Ketua Kadin.
Satgas yang diberikan keistimewaan untuk melakukan inventarisasi masalah, memberi masukan, dan melakukan konsultasi publik. Secara substansi RUU Cipta Kerja seperti hanya berisi beragam keuntungan untuk para pengusaha mulai dari pengurangan pajak korporasi, penghapusan sanksi pidana, hingga terindikasi sebagai jalan untuk melanggengkan praktek eksploitasi pekerja dan lingkungan secara intensif.
RUU Cipta Kerja Bertetangan dengan UUD 1945
Draf RUU Cipta Kerja yang telah diberikan kepada DPR RI seakan menjadi cermin negara yang menghamba pada kepentingan investasi dan bisnis dibanding pemerataan ekonomi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia warganya. Persoalan demokrasi ekonomi yang tidak terselesaikan hingga saat ini, justru dihadapkan pada kemungkinan semakin timpangnya akses dan pemerataan pengelolaan sumber daya alam
Secara substansi UUD 1945 menugaskan penyelenggara negara untuk mengatasi ketimpangan politik, ekonomi pembangunan dan sosial budaya, melalui distribusi kewenangan antar lembaga dan pemerintahan daerah.
Namun RUU Cipta kerja ini seperti mengembalikan model demokrasi terpimpin dan orde baru dengan menarik banyak kewenangan daerah ke tangan eksekutif pusat. Seperti kewenangan bagi Presiden untuk membatalkan peraturan daerah dan UU.
RUU Cipta kerja ini juga seperti mengabaikan UUD 1945 terutama soal pengelolaan Sumber Daya Alam yang dikelola Negara untuk kesejahteraan publik, dengan munculnya, ketentuan perpanjangan umur konsesi tambang dengan kalimat " Seumur Tambang " perpanjangan jangka waktu HGU dam HGB, kemudahan PHK, dan lain-lain.
Kegagalan reformasi birokrasi coba diatasi RUU Cipta Kerja ini dengan memotong perizinan, terutama di sektor lingkungan hidup dan sumber daya alam. Dengan menggeser permasalahan pada panjangnya izin lingkungan, padahal praktek terburuk sering terjadi justru pada birokrasi.
Lambatnya proses perijinan banyak ditemukan disebabkan oleh kepentingan ekonomi kepala daerah dan buruknya integritas birokrasi. Jadi seharusnya yang dikejar adalah penguatan integritas, penegakan hukum, dan peningkatan kualitas kepala daerah dan ASN.
Penghapusan izin lingkungan dengan menggabungkannya dalam izin usaha, adalah langkah yang sangat keliru, karena banyak fakta kerusakan lingkungan terjadi adalah akibat ketidakpatuhan dan lemahnya penegakan hukum terutama dalam pencegahan kerusakan lingkungan.
Dalam sektor tenaga kerja penghapusan upah cuti saat sakit, haid, berhalangan kerja karena keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, hingga anggota keluarga yang meninggal dunia dan upah kerja perjam, sejatinya jauh lebih buruk dari sistem kerja kontrak yang sudah banyak masalah.
Selanjutnya adalah sangat fleksibelnya proses rekrutmen dan PHK terhadap tenaga kerja dalam pasal status kontrak tanpa batas, penghapusan perlindungan upah dan PHK, serta pemotongan jumlah pesangon.
Ditambah lagi dengan perhitungan upah berdasarkan produktivitas, jam kerja panjang termasuk penambahan jam lembur, upah penggantian hak cuti hilang termasuk cuti sakit, menikah, ibadah, dan melaksanakan tugas serikat pekerja, sementara di sisi lain sanksi denda dan pidana bagi pengusaha dihapuskan atau dikurangi.
Jika berkaca pada UUD 1945, maka Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah jauh mengingkari, karena secara subsatansi telah mengabaikan nilai-nilai demokrasi, mempertajam ketimpangan akses SDA dan ekonomi, hingga meninggalkan prinsip – prinsip perlindungan Hak asasi Manusia bagi masyarakat.
Kekhawatiran utama dari dampak pengesahan RUU Omnibus Law Cipta kerja ini adalah akan mempertebal ketimpangan penguasan agraria, meningginya berbagai krisis lingkungan. Sebagai akibat dari ekspansi perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan sektor lain yang mengancam ruang dan habitat kehidupan masyarakat.
Belajar dari Kesalahan Masa lalu
RUU Cipta Kerja ini seperti didesain untuk memperkokoh relasi kuasa ekonomi - politik dan akumulasi modal, mirip dengan orde baru yang sangat mengangungkan developmentalisme (pembangunanisme ) yang bergantung pada Penanaman Modal Asing. Yang telah menyisakan ketimpangan struktural agraria (kepemilikan, penguasaan, distribusi, dan akses) atas kekayaan sumber agraria nasional.
Laporan Oxfam dan Infid (2017) mencatat peringkat ketimpangan ekonomi Indonesia berada di posisi keenam terburuk di dunia. Laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (2019) menunjukkan bahwa 1 persen orang di Indonesia bisa menguasai 50% aset nasional.
Pemerintah Presiden Joko Widodo yang menyatakan berpegang pada UUD 1945 dan Pancasila bahkan sangat ambigu? Di satu sisi, mendorong kebijakan reforma agraria, tapi RUU Cipta Kerja berpotensi memicu konflik agraria berikutnya. Mendorong Sumber Daya Manusia sebagai pondasi pembangunan ekonomi dimasa mendatang, tapi justru dengan RUU Cipta Kerja mendorong investasi sebagai penguasa ekonomi negeri ini.
===
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]