Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Wabah virus corona memberikan dampak yang cukup besar bagi perekonomian Indonesia. Dampak itu bisa saja diminimalisir, namun hal itu tergantung dari kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengatasinya.
Pemerintah sendiri sudah mengeluarkan beberapa stimulus baik fiskal maupun moneter. Termasuk kebijakan yang berkaitan dengan antisipasi dampak penularan COVID-19 pada ekonomi domestik (Stimulus Ekonomi I, II dan III) patut diapresiasi.
Namun Center Of Reform On Economics (CORE) merilis kajian yang bertajuk Tujuh Poin Penting Menghadapi Badai Ekonomi Pandemi COVID-19. Isinya tentang beberapa kebijakan ekonomi yang perlu diperkuat, yaitu:
Pertama, untuk mempercepat pengobatan dan pencegahan penularan yang lebih luas, pemerintah harus menerapkan kebijakan at all cost seperti pengadaan alat kesehatan penunjang pemeriksaan, ruang isolasi, dan Alat Pelindung Diri (APD), menggratiskan biaya pemeriksaan baik yang terbukti maupun tidak, ataupun hal-hal yang bersifat pencegahan seperti pembagian masker murah dan sebagainya. Konsekuensi pembengkakan defisit anggaran, sejalan dengan pendapatan APBN yang juga turun tajam, memang akan membebani pemerintah. Namun, perhitungan kemanusiaan semestinya harus lebih dikedepankan dibandingkan dengan kalkulasi ekonomi yang masih dapat ditanggulangi sejalan dengan pulihnya ekonomi masyarakat.
Kedua, untuk menjaga daya beli masyarakat sebagai dampak perlambatan putaran roda ekonomi, pemerintah dituntut untuk dapat mengurangi beban biaya yang secara langsung dalam kendali pemerintah, di antaranya tarif dasar listrik, BBM, dan air bersih. Penurunan tarif listrik dan BBM tentu tidak akan terlalu membebani keuangan BUMN dan BUMD, mengingat harga minyak mentah yang turun ke kisaran US$20 per barrel diperkirakan masih akan berlangsung lama sejalan dengan potensi resesi global.
Ketiga, kebijakan pemerintah yang melakukan relaksasi Pajak Penghasilan baik pekerja industri manufaktur (penghapusan PPh 21 selama enam bulan) ataupun pajak badan untuk industri manufaktur (pembebasan PPh Impor 22 dan diskon PPh 25 sebesar 30%) semestinya diperluas. Pasalnya, perlambatan ekonomi saat ini tidak hanya dirasakan oleh sektor industri manufaktur, tetapi juga sektor-sektor lainnya. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan relaksasi pajak seperti pemberian potongan pajak, percepatan pembayaran restitusi, dan penundaan pembayaran cicilan pajak kepada sektor-sektor lain, khususnya yang terkena dampak paling parah, seperti sektor transportasi dan pariwisata.
Keempat, upaya pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat bawah dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat yang mengalami penurunan pendapatan dan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja, perlu didukung oleh kebijakan untuk menjamin kelancaran pasokan dan distribusi barang khususnya pangan.
Di saat seperti ini, potensi panic buying dan penimbunan sangat besar, sehingga pengamanan aspek distribusi perlu diperketat. Dalam situasi seperti ini, sebagaimana di Tiongkok, aparat militer
dapat dioptimalkan dalam membantu penanganan korban dan pencegahan perluasannya, termasuk membantu proses pengamanan supply dan distribusi barang.
Kelima, penyaluran BLT juga perlu diikuti dengan ketepatan data penerima bantuan dan perbaikan mekanisme dan kelembagaan dalam penyalurannya sehingga dana BLT tidak salah sasaran dan diterima oleh seluruh masyarakat yang semestinya mendapatkannya.
Ini belajar dari pengalaman penyaluran bantuan sosial selama ini yang belum terdistribusi secara merata khususnya bagi masyarakat yang justru membutuhkan. Oleh karena koordinasi untuk validitas data sampai dengan level kecamatan perlu dilakukan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah agar tujuan BLT untuk menjaga daya beli masyarakat bisa tercapai.
Keenam, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar memberlakukan kebijakan yang mendorong lembaga keuangan untuk melakukan rescheduling dan refinancing utang-utang sektor swasta, selain untuk UMKM, juga untuk usaha-usaha yang menghadapi risiko pasar dan nilai tukar yang tinggi. Selain itu, Bank Indonesia (BI) dan OJK perlu merumuskan kebijakan yang bersifat strategis untuk mengatasi tingginya tingkat suku bunga perbankan yang menjadi salah satu beban pelaku ekonomi, khususnya di saat perlambatan ekonomi seperti saat ini.
Saat ini, meskipun BI telah melakukan pelonggaran moneter, tingkat suku bunga kredit perbankan belum mengalami penurunan yang signifikan sebagaimana halnya suku bunga simpanan. Pada periode Juni 2019 - Februari 2020, saat suku bunga acuan BI telah turun 125 bps, suku bunga kredit perbankan hanya turun 27 bps, lebih rendah dibandingkan penurunan suku bunga deposito sebesar 44 bps.
Ketujuh, membuka peluang untuk membuat terobosan kebijakan baru. Di sisi fiskal, opsi pelebaran defisit anggaran melebihi yang batas yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara diperlukan di tengah semakin banyaknya kebutuhan belanja negara untuk memberikan insentif kepada perekonomian.
Di sisi moneter, perlu mencontoh otoritas moneter beberapa negara yang aktif terjun memberikan insentif, khususnya ketika kebijakan suku bunga acuan dan beragam kebijakan konvensional tidak bekerja secara optimal seperti saat ini.
The Fed sendiri misalnya mempunyai kebijakan Quantitative Easing untuk menginjeksi likuiditas ke masyarakat. Terobosan yang bisa dilakukan BI dan pemerintah yaitu merevisi Peraturan Bank Indonesia no/10/13/PBI/2008 ataupun Undang-Undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara dengan memberikan keleluasaan BI untuk membeli SUN di pasar keuangan primer untuk mengakomodasi kepentingan pembiayaan negara.dtc