Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Bakal Calon (Balon) Wakil Wali Kota Medan dari Partai Gerindra, Suryani Paskah Naiborhu, menilai aturan karantina rumah yang terdapat dalam Pasal 9 dari Peraturan Wali Kota (Perwal) Medan No 11 Tahun 2020 telah menabrak aturan di atasnya yakni Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Hal itu dikatakan Suryani Paskah Naiborhu menyikapi Peraturan Wali (Perwal) Kota Medan No 11 Tahun 2020 tentang Karantina Kesehatan dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19, Minggu (3/5/2020). "Pasal 9 dari Perwal tersebut banyak yang rancu atau tidak sesuai dengan UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan," jelasnya dalam keterangan tertulis.
Suryani mencontohkan ayat A dan D dari Pasal 9 Perwal No 11 Tahun 2020 itu. Ayat A menyebutkan bahwa petugas karantina dengan Polri/TNI /Gugus Tugas Kota dan Gugus Tugas Kecamatan memberikan informasi/penjelasan maksud dan tujuan pengkarantinaan rumah kepada penghuni rumah yang akan dilakukan tindakan karantina rumah. Sedangkan ayat D menyebutkan bahwa rumah yang dikarantina diberi tanda Police Line dan dijaga oleh petugas karantina dan Polri/TNI/Gugus Tugas Kota dan Gugus Tugas Kecamatan
"UU Kekarantinaan Kesehatan Pasal 51 ayat 1 menyebutkan bahwa yang wajib memberikan penjelasan kepada penghuni rumah adalah pejabat karantina kesehatan. Sedangkan pasal 73 menyebutkan pejabat karantina kesehatan merupakan pejabat fungsional di bidang kesehatan yang memiliki kompetensi dan kualifikasi di bidang kekarantinaan kesehatan serta ditugaskan di instansi kekarantinaan kesehatan di pintu masuk dan di wilayah, seperti dokter," ujarnya.
Sehingga dengan demikian, pelibatan Polri-TNI dalam memberikan penjelasan tidak diperlukan. Justru kehadiran Polri-TNI ini bisa memberi kesan ketakutan ke masyarakat atau ke keluarga yang akan menjalani karantina rumah. Biarlah aparat TNI / Polri bertugas menjaga keamanan .
Terkait dengan tugas Polri-TNI untuk menjaga rumah pelaku karantina rumah, Suryani juga menilai hal itu tidak tepat. Sebab, sesuai dengan UU No 6 Tahun 2018 itu, maka Polri-TNI bertugas dalam pelaksanaan karantina wilayah. Dan yang harus diketahui pelaksanaan karantina wilayah harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari menteri kesehatan. Apabila sudah disetujui menteri kesehatan barulah petugas Polri-TNI turun tangan untuk membantu pelaksanaan karantina wilayah.
Begitu juga dengan pemasangan police line pada karantina rumah merupakan perbuatan yang tidak diatur dalam Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan. Sebab, hanya pada pemberlakuan karantina wilayah maka dibuat garis karantina dan bukan police line atau garis polisi.
Hal ini sesuai dengan Pasal 54 ayat 2 UU Kekarantinaan Kesehatan yang menyebutkan, wilayah yang dikarantina diberi garis karantina dan dijaga terus menerus oleh pejabat karantina kesehatan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berada di luar wilayah karantina.
"Jadi, sekali lagi, jelas tidak ada yang namanya police line dan penjagaan Polri-TNI dalam karantina rumah," tegasnya.
Suryani juga menyoroti ayat B dan ayat C dari Pasal 9 Perwal tersebut. Ayat B mengatakan bahwa petugas karantina membuat berita acara pelaksanaan tindakan karantina rumah dan ayat C mengatakan kepala keluarga (anggota keluarga yang tertular) menandatangani berita acara pelaksanaan karantina rumah.
Kedua ayat ini juga tidak tepat. Selain tidak ada kewajiban pembuatan dan penandatanganan berita acara pelaksanaan karantina rumah dalam undang-undang, hal itu juga membuat rakyat khawatir takut , sebab berita acara itu identik dengan bahasa hukum.
"Pasti tidak sembarangan rakyat menandatangani berita acara pelaksanaan. Rakyat yang sudah mendapat karantina rumah jangan lah disodorkan dokumen-dokumen seperti ini disaat mereka lagi terbeban dengan penyakit virus corona," tambahnya.
Satu-satunya Balon Wakil Wali Kota Medan perempuan dari Partai Gerindra ini juga menyoroti ayat H dari Pasal 9 Perwal itu yang menyebutkan lamanya pengkarantinaan rumah maksimal 2 kali masa inkubasi juga janggal. Ayat tersebut terkesan menegaskan bahwa Pemko Medan berwenang menetapkan masa waktu pelaksanaan karantina rumah.
"Sedangkan undang-undang menyebutkan bahwa hal itu menjadi tugas dari pejabat karantina kesehatan, bukan menjadi wewenang pemerintah daerah," ujarnya.
Pasal 75 ayat 2 dari UU Kekarantinaan Kesehatan mengatakan bahwa tugas pemerintah daerah adalah mengatur penempatan pejabat karantina kesehatan di wilayah dalam rangka penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
"Sedangkan ayat 3 dari pasal itu menjelaskan wewenang pejabat karantina kesehatan yakni melakukan tindakan kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 2; menetapkan tindakan kekarantinaan kesehatan; menerbitkan surat rekomendasi deportasi atau penundaan keberangkatan kepada instansi yang berwenang; dan menerbitkan surat rekomendasi kepada pejabat yang berwenang untuk menetapkan karantina di wilayah," ujarnya.
Terakhir, ayat I dari Pasal 9 Perwal itu yang menyebutkan bahwa pada beberapa rumah yang sangat berdekatan atau menggunakan kamar mandi dan sumur bersama, maka terpaksa karantina rumah harus meliputi beberapa rumah yang berdekatan tersebut, perlu direvisi.
"Pada UU Kekarantinaan Kesehatan tidak ada dituliskan jika sebuah rumah di karantina, maka rumah yang berdekatan akan terpaksa dikarantina juga. Bagaimana jika ada satu rumah toko (ruko), di mana penghuni A kena virus corona, apakah tetangga yang notabene satu dinding harus dikarantina juga? Ruko kan kebanyakan satu dinding dalam satu kompleks,"ujarnya.
Suryani Paskah Naiborhu menilai bahwa Perwal Medan No 11 Tahun 2020, khususnya pada pasal 9 yang membahas karantina rumah, terkesan tidak disusun secara matang sehingga banyak bertabrakan dengan UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
"Seharusnya aturan tentang karantina rumah pada Perwal tersebut disamakan dengan isi dari UU Kekarantinaan Kesehatan, khususnya pada Pasal 50, 51 dan 52 yang mengatur tentang karantina rumah. Pemerintah dan DPR pasti telah menyusun undang-undang secara matang, sehingga tidak perlu lagi ada penambahan yang membuat bingung masyarakat. Dan dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia, posisi undang-undang lebih tinggi dari peraturan wali kota," ujarnya.