Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Hari itu debat di parlemen era kemerdekaan berkecamuk. Eh, KH Agus Salim, yang kala itu hadir sebagai menteri (beliau Menteri Luar Negeri sejak 1946 hingga 1949) meminta agar hadirin tidak asyik berdebat kusir. Begitulah, saya cuplik dari beberapa situs internet.
Agus Salim pun lalu berkisah bagaimana ia kalah berdebat dengan seorang kusir delman yang ditumpanginya. Rupanya, saat itu, dia dan sang kusir sama-sama, maaf, memandangi pantat kuda yang menarik delman.
"Tiba-tiba kudanya kentut. 'Ini kudanya masuk angin Pak!'"
"Kusirnya bilang, 'Bukan Pak, kuda saya keluar angin!'"
"Iya, keluar angin, artinya dia masuk angin!"
"Tapi Pak, itu artinya dia keluar angin, bukan masuk angin!"
"Coba dipriksakan Pak, kuda Bapak sakit itu, masuk angin!"
"Sudah diobati Pak, makanya dia sudah bisa keluar angin!"
Demikianlah, debat kusir itu berhenti saat Agus Salim tiba di depan rumahnya. Sayang, sejauh saya jelajahi di internet, tak satu pun yang menyebut sumber kisah ini.
Namun lepas dari itu, debat kusir adalah debat yang minus alasan yang rasional, dan tanpa kesimpulan. Padahal debat adalah pertukaran pendapat mengenai suatu topik dengan saling memberi argumentasi.
Kita pun berharap debat calon gubernur/wakil gubernur yang akan digelar KPU Sumut pada Mei dan Juni nanti terhindar dari debat kusir. Tapi dapat berlangsung hangat dan seru, dan penuh dengan argumentasi yang cemerlang.
Jika menilik latarbelakang para kandidat gubernur dan wakil gubernur, kita percaya kedua belah pihak akan melakukan yang terbaik. Boleh saja mengkritik dengan tajam, namun tetap dalam batas-batas etika. Semoga menjadi tontonan yang menarik pula.
Lagi pula, debat kandidat adalah ibarat main catur. Ya, harus ada "kawan bermain." Bukan lawan. Lagi pula tak bisa main catur sendirian, bukan?
Bahkan, Agus Salim yang laksana bintang cemerlang dalam perjalanan politik Indonesia, sehingga digelari "The Grand Old Man, tetap elegan walau berdebat dengan seorang kusir delman. Namun, anekdot tentang debat kusir itu mengingatkan kita untuk tidak merasa diri paling benar.
Beda pendapat itu hak, tapi alangkah bijak jika disertai dengan alasan yang masuk akal sehat. Beda pendapat sah saja, namun tetap saling menghargai. Mencerahkan, dan tidak menebar permusuhan. (Bersihar Lubis)