Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Sudah banyak tulisan serta pandangan mengenai persoalan minat baca penduduk Indonesia yang dianggap rendah. Simak saja artikel opini para penulis di media massa, baik cetak maupun online, mengenai literasi. Data dari beberapa lembaga internasional yang mengurusi persoalan ini memang mengindikasikan keterpurukan capaian literasi kita.
Minat baca orang Indonesia menurut UNESCO, misalnya, hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 jiwa penduduk kita, hanya satu orang yang gemar membaca. Lalu Programme for International Student Assessment (PISA) melalui Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang baru merilis hasil survei tahun 2018 melaporkan bahwa indeks literasi Indonesia hanya 371 poin. Angka itu mengalami penurunan setelah sebelumnya di tahun 2015 masih mencapai 397 poin. Sedihnya, pencapaian kali ini merupakan yang terburuk sepanjang keikutsertaan Indonesia sejak tahun 2000.
BBW dan Fenomena Buku Bajakan
Data-data tadi pasti telah melalui penelitian empiris. Hanya, yang saya tidak setuju adalah apabila kita langsung menarik kesimpulan bahwa masyarakat Indonesia malas membaca. Terus terang, anggapan itu gegabah dan menyakitkan. Sebab, baik PISA maupun UNESCO tidak secara eksplisit menyebut malas membaca menjadi alasan utama di balik rendahnya peringkat literasi kita. Pasti ada variabel-variabel lain yang tidak bisa serta-merta diabaikan. Dan, jika mau serius membenahi eksosistem literasi kita, menurut saya, malas membaca bukan faktor penyebabnya. Atau setidak-tidaknya bukan faktor primer seperti yang banyak dicemaskan.
Pertama, coba cek penyelenggaraan BBW (Big Bad Wolf), bazar buku-buku terbesar di dunia, yang sering mangkal di kota-kota besar Indonesia. Selalu dibanjiri pengunjung bukan? Saking hebohnya, para pemburu buku yang datang juga membuka layanan jasa titip (jastip). Jadi, selain bisa mencari buku-buku bagus, mereka juga bisa mencari untung.
Boleh jadi BBW selalu diserbu masyarakat karena menjual buku-buku berkualitas termasuk buku-buku best seller internasional dengan harga jauh di bawah aslinya. Sekadar memberi informasi, BBW mematok diskon dari rentang 60-80%. Meski potongan harganya menggiurkan, bukankah ini menunjukkan masyarakat kita punya motivasi membaca? Jadi kita harus meralat narasi malas membaca yang sering kita bangun tadi.
Kedua, industri buku-buku bajakan sedang melejit tajam. Eksistensinya sudah berlangsung sejak lama. Ini ditandai dengan toko-toko buku bekas yang tumbuh bagai jamur di musim hujan. Sejatinya, mereka tidak hanya menjual buku-buku bekas, tapi juga buku-buku ‘kw’. Malah sekarang di era ponsel pintar, banyak toko online yang juga beroperasi dengan motif bisnis serupa. Sepertinya kehadiran mereka malah lebih memikat masyarakat. Betapa tidak, proses pembelian hingga transaksinya sangat mudah (lewat ponsel). Dan, buku yang dibeli akan dikirimkan ke alamat pembeli. Harganya? Jauh di bawah harga asli!
Merawat Industri Perbukuan
Khusus soal menjamurnya industri buku bajakan, keadaan ini menjadi dilema yang mirip dengan kisah Robin Hood. Sang maling di era Kerajaan Inggris abad pertengahan itu mencuri dari orang-orang kaya untuk diberikan pada rakyat miskin. Artinya, dia berbuat dosa untuk tujuan baik.
Pada satu sisi, hegemoni dan antusiasme masyarakat terhadap bazar buku murah dan toko-toko buku murah (meski bajakan) menunjukkan bahwa selama ini ada masalah dari sisi akses terhadap buku-buku berkualitas dan daya beli masyarakat. Tapi, kita juga tidak bisa langsung menjadikan dua alasan itu untuk melegitimasi tumbuh suburnya bisnis buku bajakan di Indonesia.
Masalahnya, kita sering merasa tidak berdosa ketika membeli buku bajakan. Padahal, membeli satu buku bajakan berarti merampas rezeki banyak orang. Alasannya sederhana. Untuk menerbitkan satu buku, banyak pihak terlibat. Mulai dari penulis, editor, pemeriksa naskah, pendesain layout buku dan sampul buku, pihak percetakan dan lain-lain. Ini belum termasuk para keluarga mereka. Merekalah yang terkena imbas, semisal, kerugian materi jika pembajakan buku terjadi.
Pemerintah wajib mencari solusi. Alih-alih membuang energi mengurusi pekerjaan-pekerjaan absurditas seperti merazia buku-buku berhaluan kiri yang marak terjadi belakangan, jauh lebih bijak bila pemerintah membuat aturan dan ancaman hukum yang lebih tegas bagi para pembajak buku. Di sisi lain, pemerintah juga harus sensitif soal kemampuan beli masyarakat yang rendah. Sebagai contoh, tidak sedikit mahasiswa yang ketika dalam pengerjaan skripsi, memerlukan buku-buku referensi penunjang yang berkualitas. Mau beli yang asli, kendalanya utamanya satu: uang! Alhasil buku-buku bajakan menjadi pilihan paling rasional.
Berawal dari Rumah
Selain masalah industri perbukuan tadi, ada persoalan lain mengenai problematika literasi yang mungkin terdengar sepele namun penting untuk dikaji. Misalnya adalah soal buku-buku yang dibeli. Apakah buku-buku itu akan dibaca secara tuntas atau tidak? Kalau hanya menjadi pajangan, sebagus apa pun sebuah buku, itu tidak akan mampu memperbaiki tren buruk literasi kita.
Menurut saya keluarga menjadi kunci awal. Membumikan minat baca harus dimulai dari rumah. Sesibuk apapun ayah dan ibu, mereka harus menjadi panutan bagi anak-anaknya. Mereka harus meluangkan waktu khusus untuk mendampingi anak-anak membaca. Dan mereka sebagai orang tua pun harus membaca! Kalau perlu dipilih hari-hari tertentu di mana setiap anggota keluarga secara bersama-sama membaca buku sesuai porsi usia dan kebutuhan masing-masing.
Untuk anak-anak yang masih kategori balita, ada baiknya ayah dan ibu secara bergantian membacakan buku-buku cerita atau dongeng pengantar tidur. Kita beruntung karena negeri ini kaya dengan cerita-cerita rakyat. Kalau di masa lalu orang tua suka mendongeng, mungkin di masa sekarang tradisi itu bisa diubah ke bentuk kebiasaan membacakan buku. Sehingga kita tidak melulu menjadi bangsa penganut tradisi lisan.
Kebiasaan lain yang harus ditanamkan misalnya adalah dengan mengunjungi perpustakaan umum ketimbang selalu menghabiskan waktu luang membawa anak-anak jalan-jalan ke mall atau melakukan setumpuk kebiasaan kontraproduktif lainnya.
Mengikutsertakan anak-anak dalam kegiatan-kegiatan membaca juga bisa menjadi alternatif. Sebagai contoh, kalau Anda jalan-jalan ke Kabupaten Samosir, di sana ada komunitas literasi untuk anak-anak bernama Teras Baca. Tiga keponakan saya yang masing-masing berusia 9, 7 dan 3 tahun diikutsertakan ayah dan ibu mereka dalam kegiatan itu. Menariknya, sang inisiator Teras Baca, Marsaulina Silitonga, tidak hanya menyediakan buku-buku bacaan ‘bergizi’, tapi juga menanamkan rasa peduli pada lingkungan dan mengajarkan pentingnya bersosialisasi sejak dini. Jadi selain kegiatan membaca, anak-anak dalam komunitas itu rutin diajak untuk mengumpulkan sampah-sampah di sekitar Danau Toba dan bermain dengan penuh keceriaan.
Dengan kebiasaan positif dan quality time seperti itu, kita tidak hanya membiasakan anak-anak bersahabat dengan buku tapi juga mereduksi faktor-faktor negatif yang memengaruhi perkembangan mereka seperti kecanduan gawai atau pergaulan buruk. Dan dalam jangka panjang, niscaya indeks literasi kita akan membaik dan negeri ini akan memiliki generasi muda yang gemilang.
===
Penulis adalah kolomnis lepas, dosen STIE Eka Prasetya dan guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]