Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SUDAH hampir satu tahun Pemerintah Indonesia bersama rakyatnya berjuang untuk memutus mata rantai penyebaran Corona Virus Disease-19 (Covid-19) dengan melakukan berbagai cara, di antaranya melakukan social distancing (menghindari tempat tempat kerumunan massa ), fhisical distancing (menjaga jarak), kemudian imbauan dirumah saja, sampai kepada dilarang mudik, wajib pakai masker, serta cuci tangan pakai sabun. Terakhir penerapan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB).
Walaupun masyarakat telah mematuhi semua imbauan yang masuk dalam katagori protokol kesehatan tersebut, namun penyebaran Covid-19 semakin masif. Setiap hari warga yang terpapar virus Corona terus bertambah. Akibatnya, masyarakat menjadi jenuh untuk terus menerus melaksanakan protokol kesehatan. Akibat dari rasa jenuh yang dirasakan oleh masyarakat, berdampak cukup fatal. Apa yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi rakyatnya dari penyebaran virus yang mematikan ini, akhirnya dinilai gagal.
Namun upaya pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, yang merupakan bagian dari hak atas kesehatan rakyat yang telah dijamin oleh konstitusi Undang Undang Dasar (UUD) 1945 tak pernah redup. Pemerintah dengan segala daya upaya dan kemampuannya, secara berkesinambungan terus melakukan himbauan untuk menegakkan kedisiplinan protokol kesehatan dengan menerapkan sanksi hukum terhadap masyarakat yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan.
Kini oftimasi penanganan Covid-19 oleh pemerintah telah memasuki pada tahap kulminasi, yaitu vaksinasi secara menyeluruh sebagai bagian dari penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan. Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menegaskan bahwa vaksin Sinovac yang akan diberikan kepada masyarakat secara gratis, tanpa diembeli dengan berbagai persyaratan. Hal itu ditegaskan oleh Kepala Negara, setelah munculnya dialektika yang meruncing di kalangan masyarakat dan elite tentang biaya untuk mendapatkan vaksin. Pelaksanaan vaksinasi itupun sudah dimulai secara serentak di Indonesia pada Rabu 13 Januari 2021, dengan diawali pemberian vaksin pertama disuntikan kepada Presiden Jokowi di Istana Negara
Vaksinasi pertama dilakukan kepada Presiden Jokowi, juga sebagai upaya pemerintah untuk menjawab keraguan atas mutu dari kualitas vaksin Sinovac yang dibeli dari Cina yang diisukan bermutu rendah. Presiden dengan segenap jajarannya menjadi orang pertama yang divaksinasi sebagai jaminan bahwa vaksinasi dengan vaksin Sinovac aman untuk digunakan. Baik dari sudut kesehatan ada Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ketua Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang juga turut di vaksinasi, sedangkan dari sisi kehalalannya, ada Unsur Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan dua tokoh Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam terbesar di Indonesia, yakni dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Yang juga turut divaksinasi dengan menggunakan vaksin Sinovac.
BACA JUGA: Ketika Golput Kalahkan Syahrial-Waris di Pilkada Tanjungbalai
Namun realitasnya yang terjadi di tengah tengah masyarakat, tak sedikit mereka yang menolak vaksin dengan dalih vaksin Sinovac Covid-19 terlalu dini atau terburu buru digunakan. Karena legitimasinya dengan predikat izin penggunaan darurat (Emergency Uce Authorization) dari BPOM. Yang mirisnya, penolakan vaksinisasi dengan menggunakan vaksi Sinovac bukan saja datang dari masyarakat awam, akan tetapi para elite partai politik dan anggota DPR.
Dilema Vaksin
Dalam menanggapi munculnya dilema terhadap vaksin Sinovac yang dilakukan oleh pemerintah kepada rakyatnya, harus disikapi dengan jernih. Pemerintah harus meyakinkan kepada masyarakat bahwa penggunaan vaksin Sinovac aman untuk digunakan, sebagai sarana memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Perlunya pemerintah untuk memberikan jaminan itu. Karena yang terang-terangan melakukan penolakan vaksinasi berasal dari salah satu anggota dewan dari Fraksi PDIP, partai pendukung pemerintah. Penolakan secara terang terangan terhadap vaksin Sinovac disampaikan kader PDIP, dr Ribka Tjiptaning dalam rapat kerja antara Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dengan Komisi IX DPR, di gedung DPR.
Dalam rapat kerja tersebut penulis buku Aku Bangga Jadi Anak PKI (Partai Komunis Indonesia), tidak saja dengan terang terangan menolak untuk divaksinasi, tapi ia juga menyebut Sinovac merupakan vaksin rongsokan. Ribka mengatakan dia dan keluarganya lebih baik dikenai sanksi dari pada menerima vaksin Corona.
"Saya tetap tidak mau divaksin Corona, maupun sampai yang 63 tahun bisa divaksin. Saya sudah 63 tahun nih, mau semua usia boleh, tetapi, disanapun hidup di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, semua anak cucu saya dapat sanksi Rp 5 juta, mending gue bayar, ketimbang divaksin ". Politisi PDIP itu menyebut pihak Bio Farma belum mengeluarkan tahap uji klinis ke tiga terkait vaksin Corona. " Bagai mana orang Bio Farma juga masih bilang belum uji klinis ketiga dan lain lain," ujarnya.
Tjiptaning pun mengingatkan sang menteri tentang vaksin. Dimana Indonesia pernah melaksanakan vaksin untuk anti folio, malah berdampak lumpuh luyuh bagi yang divaksin di Suka Bumi. Terus vaksin Anti kaki gajah di Maja Laya yang menewaskan sebanyak 12 orang. Karena di India ditolak, di Afrika ditolak, masuk ke Indonesia dengan dana Rp 1,3 triliun.
Penolakan terhadap vaksinasi Covid-19, bukan saja disampaikan Ribka Tjiptaning. Survei hasil kerja sama dengan kelompok penasihat teknis imunisasi (ITAGI), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF yang melibatkan 115.000 orang di seluruh provinsi, sebagian menyatakan menolak vaksin. Terutama karena faktor efek samping bagi kesehatan dan prihal kehalalannya. Aceh dan Sumatera Barat (Sumbar) adalah provinsi dengan jumlah penolakan vaksin terbesar. Kesediaan menerima vaksin Covid-19 di Aceh hanya 46%, sedangkan di Sumbar 47 % (BBC News Indonesia, Kamis 14 Januari 2021).
Gubernur Jawa Barat, Riduan Kamil sangat kecewa atas sikap yang diperlihatkan Ribka. Sebagai wakil rakyat Ribka harus mencerminkan semangat menuntaskan pandemi Covid-19. Menurutnya, Bio Farma telah menyelesaikan uji klinisnya. Hal itu ditandai dengan keluarnya izin dari BPOM terkait penggunaan vaksin Sinovac dalam keadaan darurat.
Menelisik dari apa yang disampaikan Riduan Kamil tentu ada benarnya. Jika uji klinis yang dilakukan Bio Farma belum tuntas, tentu BPOM tidak akan mau untuk mengambil risiko dengan memberikan izin penggunaan vaksin Sinovac , sekalipun itu dalam keadaan darurat. Apa lagi Presiden telah menjamin keamanan dari penggunaan vaksin Sinovac itu, menjadi orang pertama yang divaksinasi.
Peringatan WHO
Setelah munculnya penolakan vaksinasi oleh Ribka Tjiptaning, kini muncul pula wacana untuk menerapkan pidana bagi masyarakat yang menolak untuk divaksinasi. Menurut Wakil Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkum HAM) Edward Hiariej. Hal itu berdasarkan UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Jauh sebelumnya WHO telah mengingatkan bahwa pihaknya tidak setuju dengan aturan negara yang mewajibkan vaksin Corona terhadap rakyatnya. Karena organisasi kesehatan dunia itu menilai, mewajibkan vaksinasi Corona kepada setiap warga hanya akan menjadikan bumerang yang memicu mereka semakin bersikap antipati terkait vaksin Covid-19.
Direktur Departemen Imunisasi WHO Kete O'Brien dalam jumpa pers virtual mengatakan, meyakinkan masyarakat terkait manfaat vaksin jauh lebih efektif untuk menarik masyarakat agar mau divaksinasi dari pada mewajibkannya. WHO berpendapat memaksa orang untuk divaksinasi adalah cara yang kurang tepat untuk mempromosikan vaksinisi Covid-19.
Pemerintah diingatkan untuk lebih jeli dalam memahami penolakan vaksinasi yang dilakukan oleh masyarakat sebelum menerapkan UU Kekarantinaan Kesehatan. Karena jika hal tersebut diterapkan akan menjadi buah simalakama. Sebab bertentangan dengan UU nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan HAM, serta mengabaikan peringatan dari WHO
Dalam penerapan vaksinasi terhadap masyarakat, pemerintah selayaknya seperti menarik rambut dalam tepung. Bagaimana rambut tak putus, tepung pun tak rusak,. Agar masyarakat benar benar yakin terhadap vaksinasi pemerintah harus melakukan sosialisasi secara berkesinambungan. Semoga!
====
Penulis Sekretaris Forum Komunikasi Anak Daerah ( Fokad) Kota Tanjungbalai.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]